"Aad" adalah nama bapa suatu suku yang hidup di jazirah Arab di suatu tempat
bernama "Al-Ahqaf" terletak di utara
Hadramaut antara Yaman dan Umman dan termasuk
suku yang tertua sesudah kaum Nabi Nuh serta terkenal dengan kekuatan jasmani
dalam bentuk tubuh-tubuh yang besar dan sasa. Mereka dikurniai oleh Allah
s.w.t. tanah yang subur dengan sumber-sumber airnya yang mengalir dari segala
penjuru sehinggakan memudahkan mereka bercocok tanam untuk bahan makanan mereka
dan memperindah tempat tinggal mereka dengan kebun-kebun bunga yang
indah-indah. Berkat kurnia Allah s.w.t. itu mereka hidup menjadi makmur,
sejahtera dan bahagia serta dalam waktu yang singkat mereka berkembang biak dan
menjadi suku yang terbesar diantara suku-suku yang hidup di sekelilingnya.
Sebagaimana dengan kaum Nabi Nuh kaum Hud ialah
suku Aad ini adalah penghidupan rohaninya tidak mengenal Allah Yang Maha Kuasa
Pencipta alam semesta. Mereka membuat patung-patung yang diberi nama " Shamud" dan " Alhattar" dan itu yang disembah sebagai tuhan mereka yang menurut
kepercayaan mereka dapat memberi kebahagiaan, kebaikan dan keuntungan serta
dapat menolak kejahatan, kerugian dan segala musibah. Ajaran dan agama Nabi
Idris dan Nabi Nuh sudah tidak berbekas dalam hati, jiwa serta cara hidup mereka
sehari-hari. Kenikmatan hidup yang mereka sedang tenggelam di dalamnya berkat
tanah yang subur dan menghasilkan yang melimpah ruah menurut anggapan mereka
adalah kurniaan dan pemberian kedua berhala mereka yang mereka sembah.
Kerananya mereka tidak putus-putus sujud kepada kedua berhala itu mensyukurinya
sambil memohon perlindungannya dari segala bahaya dan mushibah berupa penyakit
atau kekeringan.
Allah Ta’ala
mengutus Nabi Hud ‘alaihissalam kepada bangsa ‘Aad, generasi pertama yang
tinggal di daerah Ahqaf di wilayah Hadhramaut, ketika semakin bertambah
kejahatan dan kesewenang-wenangan mereka terhadap para hamba Allah. Mereka
berkata:
مَنْ أَشَدُّ مِنَّا
قُوَّةً
“Siapakah yang
lebih besar kekuatannya dari kami?” (Fushshilat:15)
Selain itu, kaum
‘Aad juga melakukan kesyirikan terhadap Allah dan kedustaan terhadap para
rasul. Maka, Allah mengutus Nabi Hud ke tengah-tengah mereka untuk mengajak
mereka agar menyerahkan semua ibadah hanya untuk Allah satu-satunya dan
melarang dari perbuatan syirik dan kesewenang-wenangan terhadap hamba-hamba
Allah. Beliau mengajak kaumnya dengan segala cara dan mengingatkan mereka akan
berbagai nikmat yang telah Allah berikan berupa kebaikan dunia, kelebihan rizki
dan kekuatan tubuh. Tapi mereka menolak seruan tersebut dan menampakkan sikap
sombong, tidak mau menyambut seruan Nabi Hud. Mereka bahkan mengatakan:
يَا هُودُ مَا جِئْتَنَا
بِبَيِّنَةٍ
“Wahai Hud,
kamu tidak mendatangkan kepada kami suatu bukti yang nyata.” (Hud: 53)
Mereka telah
melakukan kedustaan dengan pernyataan ini. Karena tidak ada satu nabi-pun,
melainkan pasti telah Allah berikan ayat-ayat, yang semestinya dengan ayat itu
semua orang akan beriman. Seandainya tidak ada yang menjadi ayat-ayat
(tanda-tanda kebenaran) para rasul tersebut kecuali ajaran agama yang mereka
bawa itu sendiri, itu pun sudah cukup menjadi dalil atau bukti paling utama
bahwasanya ajaran agama ini adalah dari sisi Allah. Di samping kokoh dan
sistematisnya untuk kemaslahatan manusia, kapan dan di mana saja, sesuai dengan
situasi dan kondisi. Kebenaran berita yang ada dalam agama ini berupa perintah
terhadap semua kebaikan dan larangan dari segala kejahatan, turut menjadi bukti
kebenaran para rasul. Juga masing-masing rasul itu membenarkan rasul yang
datang sebelumnya dan menjadi saksi akan kebenaran dakwahnya. Sekaligus
membenarkan dan menjadi saksi pula bagi rasul yang akan datang setelahnya.
Nabi Hud sendirian
dalam berdakwah, menganggap mimpi-mimpi kaumnya sebagai suatu kebodohan dan
menyatakan mereka sesat, serta mencela sesembahan mereka. Sementara kaum Nabi
Hud adalah orang-orang yang tubuhnya sangat kuat dan suka berbuat
sewenang-wenang. Mereka menakut-nakuti Nabi Hud dengan sesembahan mereka. Bila
beliau tidak berhenti, niscaya Nabi Hud –menurut ancaman mereka- akan ditimpa
penyakit kegilaan dan kejelekan. Namun Nabi Hud justru terang-terangan melemparkan
tantangan kepada mereka, dan berkata:
إِنِّي أُشْهِدُ اللَّهَ
وَاشْهَدُوا أَنِّي بَرِيءٌ مِّمَّا تُشْرِكُونَ
مِن دُونِهِ ۖ
فَكِيدُونِي جَمِيعًا ثُمَّ لَا تُنظِرُونِ
إِنِّي تَوَكَّلْتُ عَلَى
اللَّهِ رَبِّي وَرَبِّكُم ۚ مَّا مِن دَابَّةٍ إِلَّا هُوَ آخِذٌ بِنَاصِيَتِهَا
ۚ إِنَّ رَبِّي عَلَىٰ صِرَاطٍ مُّسْتَقِيمٍ
“Sesungguhnya
aku jadikan Allah sebagai saksiku, dan saksikanlah oleh kalian bahwa
sesungguhnya aku berlepas diri dari apa yang kalian persekutukan, dari
selain-Nya. Sebab itu jalankanlah tipu daya kalian semuanya terhadapku dan
janganlah kalian memberi tangguh kepadaku. Sesungguhnya aku bertawakal kepada
Allah Rabb-ku dan Rabb kalian. Tidak ada suatu binatang melatapun melainkan
Dia-lah yang memegang ubun-ubunnya. Sesungguhnya Rabbku di atas jalan yang
lurus.” (Hud: 54-56)
Maka ayat mana
lagi yang lebih besar dari tantangan Nabi Hud kepada musuh-musuhnya yang sangat
menentang seruan beliau dengan berbagai macam cara. Ketika kejahatan mereka
telah melampaui batas, Nabi Hud meninggalkan dan mengancam mereka dengan
turunnya adzab Allah. Maka datanglah adzab tersebut menyebar di seluruh
cakrawala. Mereka dilanda kekeringan yang parah dan sangat membutuhkan siraman
air hujan. Di saat mereka dalam keadaan bergembira dan berkata:
هَٰذَا عَارِضٌ
مُّمْطِرُنَا
“Inilah awan
yang akan menurunkan hujan.” (Al-Ahqaf: 24)
Allah pun
berfirman:
بَلْ هُوَ مَا
اسْتَعْجَلْتُم بِهِ ۖ
“(Bukan)!
Bahkan itulah adzab yang kalian minta supaya datang dengan segera.” (Al-Ahqaf:
24)
Yaitu, kalian
minta disegerakan dengan ucapan kalian: “Datangkanlah apa yang engkau janjikan
kepada kami kalau engkau orang yang benar.”
Allah berfirman:
رِيحٌ فِيهَا عَذَابٌ
أَلِيمٌ
تُدَمِّرُ كُلَّ شَيْءٍ
“(Yaitu)
angin yang mengandung adzab yang pedih, yang menghancurkan segala sesuatu.”
(Al-Ahqaf: 24-25)
Yakni,
menghancurkan semua yang dilaluinya. Allah berfirman:
سَخَّرَهَا عَلَيْهِمْ
سَبْعَ لَيَالٍ وَثَمَانِيَةَ أَيَّامٍ حُسُومًا فَتَرَى الْقَوْمَ فِيهَا
صَرْعَىٰ كَأَنَّهُمْ أَعْجَازُ نَخْلٍ خَاوِيَةٍ
“Yang Allah
timpakan angin itu kepada mereka selama tujuh malam delapan hari terus-menerus.
Maka kamu lihat kaum ‘Aad pada waktu itu mati bergelimpangan seakan-akan mereka
tunggul-tunggul pohon kurma yang telah kosong (lapuk).” (Al-Haqqah: 7)
فَأَصْبَحُوا لَا يُرَىٰ
إِلَّا مَسَاكِنُهُمْ ۚ كَذَٰلِكَ نَجْزِي الْقَوْمَ الْمُجْرِمِينَ
“Maka jadilah
mereka tidak ada yang terlihat lagi kecuali (bekas-bekas) tempat tinggal
mereka. Demikianlah Kami memberi balasan kepada kaum yang berdosa.” (Al-Ahqaf:
25)
Semua itu terjadi
di saat mereka dahulunya senantiasa tertawa gembira, kemuliaan yang baligh
(nyata), kemewahan dunia yang berlimpah, dan seluruh kabilah dan daerah-daerah
di sekitarnya tunduk kepada mereka. Kemudian tiba-tiba Allah kirimkan kepada
mereka angin yang sangat kencang dalam beberapa hari secara terus-menerus agar
mereka merasakan siksaan yang menghinakan dalam kehidupan dunia. Padahal
sungguh adzab akhirat itu lebih menghinakan sedangkan mereka tidak diberi
pertolongan.
وَأُتْبِعُوا فِي هَٰذِهِ
الدُّنْيَا لَعْنَةً وَيَوْمَ الْقِيَامَةِ ۗ أَلَا إِنَّ عَادًا كَفَرُوا
رَبَّهُمْ ۗ أَلَا بُعْدًا لِّعَادٍ قَوْمِ هُودٍ
“Dan mereka
selalu diikuti dengan kutukan di dunia ini, dan (begitu pula) di hari kiamat.
Ingatlah, sesungguhnya kaum ‘Aad itu kafir kepada Rabb mereka. Ingatlah,
kebinasaanlah bagi kaum ‘Aad (yaitu) kaumnya Hud itu.” (Hud: 60)
Allah
menyelamatkan Nabi Hud serta orang-orang yang beriman bersama beliau.
Sesungguhnya di dalam kisah ini benar-benar terdapat ayat yang menunjukkan
kesempurnaan kekuasaan Allah dan pemuliaan-Nya terhadap para rasul dan para
pengikut mereka, pertolongan Allah kepada mereka di dalam kehidupan dunia dan
pada hari berdirinya saksi-saksi (hari kiamat). Juga ayat tentang batilnya
kesyirikan, dan kesudahannya yang sangat buruk dan mengerikan, dan juga di
dalamnya terdapat ayat atau bukti atas kehidupan sesudah mati dan
dikumpulkannya seluruh manusia. Beberapa pelajaran penting dari kisah Nabi Hud
Sebagaimana juga dalam kisah Nabi Nuh, di dalam kisah ini terdapat beberapa
faedah yang sama pada semua rasul. Faedah-faedah itu antara lain:
1. Allah Ta’ala
dengan hikmah-Nya mengisahkan kepada kita berita umat-umat yang bertetangga
dengan kita di Jazirah Arab dan sekitarnya.
Al Qur’an telah
menyebutkan metode paling tinggi dalam memberikan pelajaran atau peringatan.
Allah juga telah menerangkan berbagai pelajaran dengan keterangan yang
sebenar-benarnya. Tentunya tidak diragukan lagi bahwa di daerah-daerah lain
yang lebih jauh dari kita, di Timur atau di Barat, telah Allah utus seorang
Rasul kepada mereka. Begitu pula telah dipaparkan bagaimana sambutan,
penolakan, atau pemuliaan serta akibat yang mereka terima. Tidak ada satu umat
pun melainkan telah Allah utus kepada mereka seorang Rasul.
Sangat bermanfaat
bagi kita untuk mengingat keadaan daerah-daerah di sekitar kita serta apa yang
kita terima dari generasi ke generasi. Juga apa yang dapat kita saksikan dari
peninggalan mereka ketika kita melewati (bekas-bekas) tempat kediaman mereka
setiap saat dan kitapun memahami bahasa mereka, dan tabiat mereka lebih dekat
kepada tabiat yang ada pada kita. Tentu saja manfaat ini sangat besar, dan
lebih pantas kita ingat daripada memaparkan keadaan umat yang belum pernah kita
dengar tentang mereka, yang tidak kita kenal bahasa mereka dan tidak sampai
kepada kita keadaan mereka seperti yang Allah ceritakan kepada kita. Dari sini
dapat disimpulkan bahwa mengingatkan orang dengan sesuatu yang lebih dekat
dengan pemahaman mereka, lebih sesuai dengan keadaan mereka serta lebih mudah
mereka dapatkan, akan lebih bermanfaat bagi mereka dibanding yang lain.
Tentunya lebih
pantas untuk disebutkan dengan cara yang lain meskipun juga mengandung
kebenaran. Namun kebenaran itu bertingkat-tingkat. Seorang pengajar atau
pendidik bila dia menempuh cara ini, dan berupaya keras menyebarkan ilmu dan
kebaikan kepada manusia dengan jalan-jalan yang mereka kenal, tidak membuat
umat lari dari dakwah atau dengan suatu metode yang lebih tepat untuk menegakkan
hujjah terhadap mereka, niscaya akan bermanfaat. Allah telah mengisyaratkan hal
ini pada bagian akhir kisah bangsa ‘Aad. Firman Allah:
وَلَقَدْ أَهْلَكْنَا مَا
حَوْلَكُم مِّنَ الْقُرَىٰ وَصَرَّفْنَا الْآيَاتِ
“Dan
sesungguhnya Kami telah membinasakan negeri-negeri di sekitarmu, dan Kami telah
mendatangkan tanda-tanda kebesaran Kami berulang-ulang.” (Al-Ahqaf: 27)
Yakni telah Kami
sebutkan berbagai macam ayat atau tanda kekuasaan Kami:
لَعَلَّهُمْ يَرْجِعُونَ
“Supaya mereka
kembali (bertaubat).” (Al-Ahqaf: 27)
Yaitu agar lebih
mudah untuk mendapatkan pelajaran.
2. Menjadikan
bangunan-bangunan yang besar dan megah sebagai suatu kebanggaan dan kesombongan
serta perhiasan dan menindas hamba-hamba Allah dengan sewenang-wenang adalah
perbuatan yang sangat tercela dan merupakan warisan generasi yang melampaui
batas sebagaimana diterangkan Allah dalam kisah bangsa ‘Aad yang diingkari oleh
Nabi Hud:
أَتَبْنُونَ بِكُلِّ
رِيعٍ آيَةً تَعْبَثُونَ
“Apakah kalian
mendirikan bangunan pada tiap-tiap tanah yang tinggi untuk bermain-main.”
(Asy-Syu’ara: 128)
Secara umum
bangunan untuk istana, benteng, rumah dan bangunan lainnya, mungkin saja
dijadikan tempat tinggal karena memang dibutuhkan. Kebutuhan itu sendiri
beraneka ragam dan berbeda-beda tingkatnya. Semua ini adalah perkara mubah
(dibolehkan) dan justru menjadi wasilah (jalan) kepada kebaikan apabila
disertai dengan niat yang lurus. Atau dapat pula dijadikan sebagai benteng
pertahanan dari serangan musuh dan menjaga keamanan suatu daerah atau manfaat
lain bagi kaum muslimin. Ini juga termasuk rangkaian jihad di jalan Allah,
berkaitan dengan perintah harus berhati-hati terhadap musuh. Namun bisa saja
itu semua dimanfaatkan demi kesombongan dan kekejaman terhadap hamba-hamba
Allah, atau pemborosan harta yang sebetulnya dapat digunakan di jalan yang
bermanfaat. Ini tentu saja merupakan hal yang sangat dicela oleh Allah pada
bangsa ‘Aad atau yang lainnya.
Faedah yang lain,
bahwa akal pikiran ataupun kecerdasan dan yang mendukung semua itu serta hasil
atau pengaruh yang ditimbulkan. Betapapun besar dan luasnya tetap tidak akan
bermanfaat bagi pemiliknya kecuali bila ia mengimbangi dengan keimanan kepada
Allah dan para rasul-Nya. Sedangkan orang yang menentang ayat-ayat Allah,
mendustakan para rasul Allah, walaupun dia mendapatkan kesempatan atau diberi
tangguh untuk menikmati kehidupan dunia, kesudahan yang akan dia hadapi nanti
sangatlah buruk. Pendengaran, penglihatan dan akalnya tidak akan dapat
membelanya sedikitpun jika datang keputusan Allah. Sebagaimana yang Allah
sebutkan dalam kisah ‘Aad:
وَلَقَدْ مَكَّنَّاهُمْ
فِيمَا إِن مَّكَّنَّاكُمْ فِيهِ وَجَعَلْنَا لَهُمْ سَمْعًا وَأَبْصَارًا
وَأَفْئِدَةً فَمَا أَغْنَىٰ عَنْهُمْ سَمْعُهُمْ وَلَا أَبْصَارُهُمْ وَلَا
أَفْئِدَتُهُم مِّن شَيْءٍ إِذْ كَانُوا يَجْحَدُونَ بِآيَاتِ اللَّهِ وَحَاقَ
بِهِم مَّا كَانُوا بِهِ يَسْتَهْزِئُونَ
“Dan
sesungguhnya Kami telah meneguhkan kedudukan mereka dalam hal-hal yang Kami
belum pernah meneguhkan kedudukanmu dalam hal itu dan Kami memberikan kepada
mereka pendengaran, penglihatan dan hati; tetapi pendengaran, penglihatan dan
hati mereka itu tidak berguna sedikitpun bagi mereka, karena mereka selalu
mengingkari ayat-ayat Allah dan mereka telah diliputi oleh siksa yang dahulu
selalu mereka perolok-olokkan.” (Al-Ahqaf: 26)
Dalam ayat lain:
فَمَا أَغْنَتْ عَنْهُمْ
آلِهَتُهُمُ الَّتِي يَدْعُونَ مِن دُونِ اللَّهِ مِن شَيْءٍ لَّمَّا جَاءَ أَمْرُ
رَبِّكَ ۖ وَمَا زَادُوهُمْ غَيْرَ تَتْبِيبٍ
“Karena itu
tidaklah bermanfaat sedikitpun kepada mereka sesembahan yang mereka seru selain
Allah, di waktu adzab Rabb-mu datang. Dan sesembahan itu tidaklah menambah
kepada mereka kecuali kebinasaan belaka.” (Hud: 101)
Nabi Hud meninggalkan tempatnya berhijrah ke
Hadramaut, di mana ia tinggal menghabiskan sisa hidupnya sampai ia wafat dan
dimakamkan di sana dimana hingga sekarang makamnya yang terletak di atas sebuah
bukit di suatu tempat lebih kurang 50 km dari kota Siwun dikunjungi para
penziarah yang datang beramai-ramai dari sekitar daerah itu, terutamanya dan
bulan Syaaban pada setiap tahun.
Daftar Pustaka :
0 komentar:
Posting Komentar